2007/12/02

Kabar dari Rakernas-2

Ketua Umum DPP Hidayatullah
'Hidayatullah Harus Mandiri'
Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail

Minggu, 02 Desember 2007

Untuk meningkatkan profesionalisme para da'i dan guru, sepatutnya mereka mendapatkan kesejahteraan yang layak. Demikian pendapat Ketua Umum DPP Hidayatullah, Dr Abdul Mannan, di sela-sela kesibukan acara Rakernas III Hidayatullah.

“Apakah para da’i dan guru kita harus berbisnis? Kan tidak semua orang bisa berbisnis,” tanya sebagian orang menanggapi program “Pengembangan Ekonomi sebagai Pilar Dakwah” yang dicanangkan Hidayatullah pada Rakernas III ini.

Ternyata bukan begitu maksudnya. Para da’i boleh berbisnis, tetapi tidak harus. Siapa pun, termasuk pada da’i dan guru boleh berbisnis, jika berminat dan mampu. Tak ada yang berhak melarang. Tapi kalau tak berminat dan tak mampu, jangan dipaksa atau memaksakan diri. Biarlah para da’i dan guru tetap berkhidmat pada bidang garapannya, seraya terus meningkatkan kualitas dan produktivitasnya.

Adapun mereka yang memiliki minat dan kemampuan di bidang dunia usaha, silakan pula berkiprah di sana. Raihlah laba semaksimal mungkin. Tentunya dengan jalan halal dan thayib. Dan jangan lupa, sebagian keuntungan perniagaan itu diinvestasikan di jalan dakwah. Sehingga kesejahteraan bisa dinikmati bersama, tidak cuma untuk para wirausahawan.

Bagaimana caranya? Ikuti wawancara kami dengan doktor ilmu ekonomi dari Universitas Borobudur Jakarta ini:

Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam pencanangan pengembangan ekonomi saat ini?

Pemberdayaan ekonomi dilakukan baik secara kelembagaan maupun individu. Secara individu diperlukan profesionalisme, sementara secara kelembagaan yang diperlukan adalah regulasi tentang perekonomian lembaga. Fungsi publik, dalam hal ini DPP berperan dalam tiga hal, yaitu distribusi, stabilisasi, dan alokasi. Oleh karena itu, kita harus membangun economic environment (ekonomi berbasis kewilayahan).

Seperti apa bentuk riilnya?

DPW dan DPD harus membuat satu divisi ekonomi yang akan bertugas untuk mendeteksi potensi-potensi ekonomi di wilayah operasionalnya

Bagaimana agar program itu bisa berjalan maksimal?

Agar ini maksimal pemberdayaan ekonomi harus menjalin kerja sama dengan pemerintah dan swasta. Kita tidak akan bisa eksis tanpa melakukan kerja sama itu.

Hidayatullah sebagai ormas ketiga di Indonesia yang lahir dalam suasana pasca kemerdekaan, maka wajib mengisi kemerdekaan. Mengisi kemerdekaan dalam hal ini adalah melakukan tahapan sekarang ini yaitu dengan pemberdayaan ekonomi mandiri.

Regulasi seperti apa yang sedang disiapkan?

Regulasi yang sedang disiapkan yaitu sentralisasi ekonomi. Semua aktivitas harus bernilai ekonomi. Misalnya secara individu ada infaq dan zakat, demikian juga pada perusahaan harus ada infaq dan zakat. Infaq dan zakat ini dibangun atas dasar iman dan kesadaran kemanusiaan.

Bagaimana dengan masalah kepemilikan?

Jadi dalam regulasi nanti ditetapkan, swasta diberi kebebasan namun dalam batas-batas keislaman. Lembaga juga bisa punya perusahaan, seperti dalam negara ada BUMN. Misalnya sekarang Hidayatullah punya BUMH, berupa Totalindo, Majalah Suara Hidayatullah, dll. Tetapi sahamnya di-share antara pusat dan wilayah. Ada pun secara individu, itu usaha individu. Itu diatur dengan kesadaran iman.

Ada kekhawatiran ini akan mempengaruhi kader yang sudah fokus pada garapan dakwah dan pendidikan?

Karena itu, kompensasi untuk guru dan da’i itu perlu diperbesar. Jika itu tidak dilakukan maka bisa terjadi kesenjangan sosial yang jauh antar sesama kader kita. Nanti bisa terjadi, mereka berwirausaha sangat sejahtera, sementara yang tidak berwirausaha—karena sibuk mengurus lembaga dan umat—jauh tertinggal kesejahteraannya.

Untuk menghindari kesenjangan itu, lembaganya harus kaya, sehingga bisa memberikan kompensasi yang layak aktivis atau fungsionarisnya. Sehingga mereka tidak berpikir untuk meninggalkan kerja dakwahnya, karena sibuk mengurusi bisnis.

Jadi, yang bekerja dalam bidang dakwah, tetaplah fokus dalam dakwah. Yang menjadi pendidik tetap fokus dalam pendidikan. Jadilah profesional di bidangnya masing-masing.

Bagaimana mengaplikasikan kebijakan ini dalam sebuah pedoman taktis?

Nanti dalam Rakor (Rapat Koordinasi-red) akan dibicarakan bagaimana sebuah program itu bisa terealisasikan. Insya Allah setelah ini kita akan gelar rakor untuk itu. Selain itu kita juga akan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan usaha untuk bekal mengaplikasikan di daerah.

Siapa yang membuka peluang usaha-usaha di daerah?

Antara lain akan difasilitasi oleh lembaga APHIDA (Asosiasi Pengusaha Hidayatullah). Tadi malam (30/11) sudah terjadi kesepakatan bisnis antar sesama anggota APHIDA senilai Rp 120 juta.

Apakah juga akan melibatkan pihak luar?

Jelas, ini akan melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah dan swasta. Jadi swasta yang luas. Bisnis itu kan dengan siapa pun. Ini menjadi media dakwah melalui dunia ekonomi.

Seperti apa potensi ekonomi yang sudah ada?

Sebenarnya dari segi potensi sangat besar, seperti di Propinsi Kaltim sebagai penyumbang terbesar dalam APBN. Tapi, kenapa sebagai basisnya Hidayatullah, kita tidak bisa memanfaatkan potensi ini. Pasalnya, selama ini nyalinya, nyali orsos dan nyali mubaligh yang tidak berani mengubah dunia. Ini menyalahi fitrah dan menyalahi Islam juga. Oleh karena itu nyalinya harus diubah. Kita ini khalifah. Kita ini diserahi Allah untuk mengelola alam semesta ini. Kok kita lupakan dunia ini.

Di sini modalnya harus ada ilmunya. Kita akan berikan pelatihan masalah manajerial, mikro dan makro ekonomi, termasuk dalam hal-hal keterampilan.

Apa yang diharapkan dari kemandirian ekonomi?

Yang kita harapkan nantinya kita tidak bergantung lagi kepada donatur. Ibaratnya perahu tidak bergantung kepada angin, tapi masih ada mesin. Dengan mesin perahu bisa jalan terus. Selama ini Hidayatullah, jalannya masih bergantung angin, maksudnya donatur. Baik dari tingkat bawah sampai atas.

Berapa tahun ini akan terwujud?

Itu relatif. Kalau mau bersyukur, sekarang ini kita sudah mandiri, hanya saja pada tingkat dasar. Tapi kalau mandiri total, itu membutuhkan waktu 10-20 tahun. Negara saja sudah 60 tahun belum juga mandiri, malah banyak hutangnya.* (Ahmad Damanik)

Žádné komentáře: